Waktu Saat Ini

Karakteristik Pandangan Hidup Islam

studi keagamaan modern (modern study of religion) istilah worldview secara umum merujuk kepada agama dan ideologi, termasuk ideologi sekuler, [37] tapi dalam Islam worldview merujuk kepada makna realitas yang lebih luas.

Pengertian Prof. al-Attas yang kemudian diistilahkan dengan ru’yat al-Islam li al-wujud “pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta,[38] dijelaskan lebih lanjut bahwa pandangan hidup Islam itu bukan sekedar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia didalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural…tapi mencakup aspek al-dunyÉ dan al-Ékhirah, dimana aspek al-dunyÉ harus terkait secara erat dan mendalam dengan aspek akherat, sedangkan aspek akherat harus diletakkan sebagai aspek final”.[39] Lebih teknis lagi Prof. Alparslan menjelaskan bahwa worldview Islam adalah “visi tentang realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran yang arsitektonik, yang berperan sebagai asas yang tidak nampak (non-observable) bagi semua perilaku manusia, termasuk aktifitas ilmiah dan teknologi”.[40]
Dalam pandangan Sayyid Qutb karakteristik pandangan hidup Islam terdiri dari tujuh:
Pertama, RabbÉniyyah (bersumber dari Allah), artinya ia berasal dari Tuhan sehingga dapat disebut sebagai visi keilahian. Sifat inilah yang membedakan Islam dari pandangan hidup dan ideologi lain. Ia diturunkan dari Tuhan dengan segenap komponennya. Berbeda dari Islam pandangan hidup lain seperti pragmatisme, idealisme, atau dialektika materialisme bersumber dari akal fikiran dan kehendak manusia belaka. Berbeda dari agama lain yang kitab sucinya telah dicampuri oleh pandangan akal fikiran dan kata-kata manusia, kitab suci Islam adalah murni dan terjaga (al-Qur’an 15:9).
Kedua bersifat konstan (thabat) artinya tasawwur al-Islami itu dapat diimplementasikan kedalam berbagai bentuk struktur masyarakat dan bahkan berbagai macam masyarakat. Namun esensinya tetap konstan, tidak berubah dan tidak berkembang. Ia tidak memerlukan penyesuaian terhadap kehidupan dan pemikiran, sebab ia telah menyediakan ruang dinamis yang bergerak dalam suatu kutun yang konstan. Alam semesta dengan sunnatullahnya, manusia dengan sifat kemanusiaannya adalah desain yang konstan. Sifat konsistensi ini berlawanan dengan perkembangan yang tak terbatas yang terjadi di Barat dan pada sisi lain konsistensi juga dapat menjadi tameng dari Westernisasi atau pengaruh kebudayaan Eropah, nilai-nilainya, tradisinya dan metodologinya.
Ketiga bersifat komprehensif (shumËl), artinya tasawwur al-Islami itu bersifat komprehensi. Sifat komprehensif ini di dukung oleh prinsip tawhid yang dihasilkan dari sumber Tuhan yang Esa. Tawhid juga termanifestasikan kedalam kesatuan antara pemikiran dan tingkah laku, antara visi dan inisiatif, antara doktrin dan sistim, antara hidup dan mati, antara cita-cita dan gerakan, antara kehidupan dunia dan kehidupan sesudahanya. Kesatuan ini tidak dapat dipecah-pecah kedalam bagian-bagian yang tidak bersesuaian, termasuk memisahkan antara ibadat dan muamalat. Jika Islam difahami diluar konsep tawhid ini maka pemahaman itu dapat meletakkan seseorang diluar konsep Islam.
Keempat seimbang ( tawÉzun), artinya pandangan hidup Islam itu merupakan bentuk yang seimbang antara wahyu dan akal, sebab memang wahyu diturunkan untuk dapat diimani dan difahami oleh akal manusia. Juga keseimbangan antara yang diketahui (al-ma’lum) dan yang tidak diketahui (ghayr ma’lum), antara yang nyata dan tidak nyata.
Kelima, positif (ijabiyyah), artinya pandangan hidup Islam mendorong kepada aktifitas ketaaatan kepada Allah dam sekap positif. Segala aktifitas dalam hidup manusia mempunyai relevansinya dan konsekuensinya dalam agama dan sebalikanya pernyataan dalam ibadab seperti shahadah dengan lidah mesti diamalkan dalam aktifitas yang nyata.
Keenam, pragmatis (wÉqi’iyyah), artinya sifat pandangan hidup Islam itu tidak melulu idealistis, tapi juga membumi kedalam realitas kehidupan. Jadi ia bersifat idealistis dan realistis sekaligus, sehingga ia dapat membangun sistim yang lengkap yang sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dalam Islam perasn manusia yang dibutuhkan hanyalah sejauh kapasitasnya sebagai manusia. Ia tidak dituntut untuk berada pada posisi yang lebih rendah dari itu atau lebih tinggi sampai kepada derajat ketuhanan. Ia berbeda dari visi Brahma dalam agama Hindu yang menganggap raga manusia sebagai tidak riel, atau dari pandangan hidup Kristen yang menganggap manusia terdiri dari jiwa dan raga, tapi menganggap segala yang berhubungan dengan raga sebagai kejahatan.
Ketujuh, keesaan (tawhid), artinya karakteristik yang paling mendasar dari pandangan hidup Islam adalah pernyataan bahwa Tuhan itu adalah Esa dan segala sesuatu diciptakan oleh Nya. Karena itu tidak penguasa selain Dia, tidak ada legislator selain Dia, tidak ada siapapun yang mengatur kehidupan manusia dan hubungannya dengan dunia dan dengan manusia serta makhluk hidup lainnya kecuali Allah. Petunjuk, undang-undang dan semua sisitim kehidupan, norma atau nilai yang mengatur hubungan antara manusia berasal dari padaNya.[41]
Karakteristik yang dikemukakan oleh Sayyid Qutb diatas menunjukkan luasnya jangkauan yang menjadi bidang cakupan (spektrum) pandangan hidup Islam, akan tetapi gambaran tentang luasnya spektrum tersebut, justru menjadikannya kurang detail. Untuk melihat sisi lain yang lebih detail mengenai hal itu kita paparkan gambaran Prof. Al-Attas tentang elemen penting yang menjadi karakter utama pandangan hidup Islam. Elemen penting pandangan hidup Islam itu digambarkan dalam poin-poin berikut ini:[42]
Pertama: Dalam pandangan hidup Islam realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kepada kajian metafisika terhadap dunia yang nampak (visible world) dan yang tidak nampak (invisible world). Sedangkan pandangan Barat terhadap realitas dan kebenaran, terbentuk berdasarkan akumulasi pandangan terhadap kehidupan kultural, tata nilai dan berbagai fenomena social. Meskipun pandangan ini tersusun secara coherence, tapi sejatinya bersifat artificial. [43] Pandangan ini juga terbentuk secara gradual melalui spekulasi filosofis dan penemuan ilmiah yang terbuka untuk perubahan. Spekulasi yang terus berubah itu nampak dalam dialektika yang bermula dari thesis kepada anti-thesis dan kemudian synthesis. Juga dalam konsep tentang dunia, mula-mula bersifat god-centered, kemudian god-world centered, berubah lagi menjadi world-centered. Perubahan-perubahan ini tidak lain dari adanya pandangan hidup yang berdasarkan pada spekulasi yang terus berubah karena perubahan kondisi sosial, tata nilai, agama dan tradisi intelektual Barat.
Kedua: Pandangan hidup Islam bercirikan pada metode berfikir yang tawhÊdi (integral). Artinya dalam memahami realitas dan kebenaran pandangan hidup Islam menggunakan metode yang tidak dichotomis, yang membedakan antara obyektif dan subyektif, histories-normatif, tekstual-kontektual dsb. Sebab dalam Islam, jiwa manusia itu bersifat kreatif dan dengan persepsi, imaginasi dan intelgensinya ia berpartisipasi dalam membentuk dan menerjemahkan dunia indera dan pengalaman indrawi, dan dunia imaginasi. Karena worldview yang seperti itulah maka tradisi intelektual di Barat diwarnai oleh munculnya berbagai sistim pemikiran yang berdasarkan pada materialisme dan idealisme yang didukung oleh pendekatan metodologis seperti empirisisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme dan lain-lain. Akibatnya, di Barat dua kutub metode pencarian kebenaran tidak pernah bertemu dan terjadilah cul de sac.
Ketiga: Pandagan hidup Islam bersumberkan kepada wahyu yang diperkuat oleh agama (din) dan didukung oleh prinsip akal dan intuisi. Karena itu pandangan hidup Islam telah sempurna sejak awal dan tidak memerlukan kajian ulang atau tinjauan kesejarahan untuk menentukan posisi dan peranan historisnya. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ritus-ritusnya, doktrin-doktrin serta sistim teologisnya telah ada dalam wahyu dan diterangkan serta dicontohkan oleh Nabi. Ketika ia muncul dalam pentas sejarah, Islam telah “dewasa” sebagai sebuah sistim dan tidak memerlukan pengembangan. Ia hanya memerlukan penafsiran dan elaborasi yang merujuk kepada sumber yang permanen itu. Maka ciri pandangan hidup Islam adalah otentisitas dan finalitas. Maka apa yang di Barat disebut sebagai klasifikasi dan periodesiasi pemikiran, seperti periode klasik, pertengahan, modern dan postmodern tidak dikenal dalam pandangan hidup Islam; periodesasi itu sejatinya menggambarkan perubahan elemen-elemen mendasar dalam pandangan hidup dan sistim nilai mereka.
Keempat: Elemen-elemen pandangan hidup Islam terdiri utamanya dari konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep penciptaanNya, konsep psikologi manusia, konsep ilmu, konsep agama, konsep kebebasan, konsep nilai dan kebajikan, konsep kebahagiaan. Elemen-elemen mendasar yang konseptual inilah yang menentukan bentuk perubahan (change), perkembangan (development) dan kemajuan (progess) dalam Islam. Elemen-elemen dasar ini berperan sebagai tiang pemersatu yang meletakkan sistim makna, standar tata kehidupan dan nilai dalam suatu kesatuan sistim yang koheren dalam bentuk worldview.
Kelima: Pandangan hidup Islam memiliki elemen utama yang paling mendasar yaitu konsep tentang Tuhan. Konsep Tuhan dalam Islam adalah sentral dan tidak sama dengan konsep-konsep yang terdapat dalam tradisi keagamaan lain; seperti dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenisme; tradisi filsafat Barat, atau tradisi mistik Timur dan Barat sekaligus. Kesamaan-kesamaan beberapa elemen tentang konsep Tuhan antara Islam dan tradisi lain tidak dapat dibawa kepada kesimpulan adanya Satu Tuhan Universal, sebab sistim konseptualnya berbeda. Karena itu ide Transendent Unity of Religion adalah absurd.
Itulah ciri-ciri pandangan hidup atau worldview Islam yang tidak saja membedakan Islam dari agama, peradaban dan kebudayaan lain tapi juga membedakan metode berfikir dalam Islam dan metode berfikir pada kebudayaan lain.

Sumber : http://pondokshabran.org

0 komentar:

Posting Komentar

Image and video hosting by TinyPic

Flash Counter

Pengikut

Blogger Touch Versi Handphone

Mobile Edition
By Blogger Touch